Peristiwa ini terjadi pada tahun kedelapan hijriah, di bulan Jumadil Akhirah, beberapa hari sesudah meletusnya perang Mu’tah, di balik lembah Wadil Qura yang berjarak sepuluh hari dari Madinah.
Sebuah berita sampai kepada Rasulullah n bahwa sepasukan orang dari Qudha’ah telah berkomplot untuk mendekati ujung kota Madinah. Rasulullah pun memanggil ‘Amr bin ’Ash.
Rasulullah berkata kepada Amr: “Hai ‘Amr Ketatkan pakaian dan senjatamu, dan menghadaplah kepadaku.”
Amr melakukannya lalu mendatangi Rasulullah yang sedang berwudhu. Kemudian beliau memandang Amr seraya berkata: “Hai ‘Amr, sungguh aku ingin mengirimmu ke satu tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah. Aku pun harapkan untukmu harta itu, harapan yang baik.”
‘Amr pun berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh saya masuk Islam bukan karena menginginkan harta, tapi saya masuk Islam karena memang ingin berjihad dan tetap bersama anda.”
Rasulullah berkata: “Wahai ‘Amr, harta yang baik itu adalah untuk orang yang baik pula.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad Syamiyyin)
Sikap ini menunjukkan betapa kuat iman, kejujuran, dan keikhlasan ‘Amr dalam ber-Islam, juga semangatnya untuk selalu menyertai Rasulullah
Kemudian Rasulullah membelitkan bendera putih dan menyerahkan bendera hitam kepadanya. Setelah itu beliau melepas ‘Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar. Di antaranya 30 orang pasukan berkuda.
Pasukan muslimin mulai bergerak keluar kota Madinah. Di siang hari pasukan berhenti, istirahat. Malamnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Ini adalah salah satu bukti kecerdikan dan keahlian ‘Amr bin ’Ash dalam berperang. Taktik ini sangat menguntungkan pasukan muslimin karena menjaga agar stamina pasukan tetap segar, tidak dilemahkan oleh rasa haus dan panasnya matahari danmenyembunyikan gerak pasukan di malam hari dari intaian musuh.
Setibanya di persembunyian, ‘Amr mendengar banyaknya jumlah musuh. Ia pun mengirim surat kepada Rasulullah n meminta bala bantuan. Kemudian Rasulullah mengirimkan bantuan 200 orang Muhajirin, termasuk di dalamnya Abu Bakr dan ‘Umar serta mengangkat Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah sebagai komandan mereka.
Musa bin ‘Uqbah menceritakan dalam Sirah-nya:Setelah bertemu ‘Amr, Abu ‘Ubaidah hendak maju mengimami pasukan, tetapi ditahan oleh ‘Amr, dia berkata: “Kalian datang kepada saya adalah sebagai bala bantuan. Saya panglima (di sini).”
Orang-orang Muhajirin berkata: “Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin.”
‘Amr membantah: “Tapi kalian adalah bala bantuan yang saya minta.”
Melihat keadaan ini, Abu ‘Ubaidah yang wataknya lembut, berkata: “Engkau tahu wahai ‘Amr, terakhir yang ditetapkan Rasulullah ialah: ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling bekerja sama’, dan engkau, kalau engkau tidak mentaatiku, pasti aku tetap mentaatimu.”
Maka Abu ‘Ubaidah pun menyerahkan kepemimpinan kepada ‘Amr bin ’Ash, sejak itu, ‘Amr pun menjadi imam bagi pasukan tersebut.
Alangkah indahnya kehidupan mereka. Serba mudah dalam urusan dunia, jauh dari ambisi kepemimpinan.
Abu ‘Ubaidah sangat tanggap melihat kenyataan ini. Sekecil apapun perselisihan di dalam tubuh pasukan muslimin dalam perang Dzatu Salasil ini, pasti akan membuahkan kelemahan dan kekalahan. Sebab itulah dengan segera beliau memadamkan api perselisihan itu dengan menyerahkan kepemimpinan kepada ‘Amr.
Malam harinya, pasukan muslimin beristirahat. Sebagian mereka ingin menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan karena saat itu sedang berlangsung musim dingin. Tetapi ‘Amr sang panglima melarang mereka bahkan mengancam: “Siapa yang berani menyalakan api unggun, akan saya lemparkan dia ke dalamnya.”
Sikap tegas ini menyusahkan pasukan tersebut, apalagi rasa dingin yang sangat menusuk. Beberapa tokoh Muhajirin membujuk ‘Amr, tapi ditanggapi dengan pedas oleh ‘Amr. Bahkan kata ‘Amr: “Kalian diperintah untuk mendengar dan taat kepada saya?”
Sahabat itu berkata: “Benar.”
“Kalau begitu, kerjakan!” kata ‘Amr.
Berita ini terdengar juga oleh ‘Umar dan membuatnya berang hingga berniat ingin mendatangi ‘Amr. Tapi kemudian, dia ditahan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq. Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Rasulullah tidak mengangkatnya menjadi panglima melainkan karena keahliannya dalam berperang, jika kau lebih baik dari ‘Amr pasti Rasulullah akan memilihmu.”
Seketika ‘Umar pun terdiam dan mempercayai ucapan Abu Bakar
Malam semakin dingin, tidak ada api yang menghangatkan. Namun ketaatan mereka kepada pemimpin luar biasa. Suka atau tidak, kesulitan seperti itu harus mereka tanggung.
Pagi harinya ketika akan melaksanakan sholat subuh semua pasukan berwudhu dengan air yang sangat dingin, akan tetapi ‘Amr justru bertayamum dan setelah itu mengimami sholat. Melihat hal tersebut Umar bin Khatab bertanya: “bagaimana mungkin dia (‘Amr) mengimami sholat dengan bertayamum padahal semua pasukan berwudhu dengan air yang sangat dingin ini ?!”
Kemudian Abu Bakar kembali menenangkan Umar dan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah tidak mengangkatnya menjadi panglima melainkan karena keahliannya dalam berperang, jika kau lebih baik dari ‘Amr pasti Rasulullah akan memilihmu.”Mendengar jawaban Abu Bakar, ‘Umar pun terdiam dan mempercayai ucapan Abu Bakar.
Kemudian mereka mulai menyergap musuh, dalam pertempuran tersebut musuh merasakan kekuatan pasukan ‘Amr bin ’Ash dan akhirnya mereka pun lari bercerai berai. Kaum muslimin ingin mengejar mereka, namun dilarang oleh ‘Amr bin ’Ash. ‘Amr bin ’Ash justru menginstruksikan semua pasukan muslimin untuk kembali berkumpul menjadi satu kelompok. Melihat hal tersebut Umar bin Khatab kembali protes dan bertanya: “bagaimana mungkin dia (‘Amr) memerintahkan kita untuk berkumpul padahal pasukan kita sudah dekat sekali dengan kemenangan?!”
Kemudian Abu Bakar kembali menenangkan Umar dan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah tidak mengangkatnya menjadi panglima melainkan karena keahliannya dalam berperang, jika kau lebih baik dari ‘Amr pasti Rasulullah akan memilihmu.”Mendengar jawaban Abu Bakar, ‘Umar pun terdiam dan mempercayai ucapan Abu Bakar.
Setelah perang usai dan pasukan bersiap-siap kembali ke Madinah, sang panglima mengutus ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i menemui Rasulullah n untuk menyampaikan berita tentang keadaan pasukan dan kejadian yang ada selama di sana.
Setibanya di Madinah, ‘Auf menceritakan bagaimana Abu ‘Ubaidah menuruti ‘Amr, hingga akhirnya ‘Amr mengimami pasukan dan tetap menjadi panglima mereka. Diceritakannya pula bagaimana ‘Amr melarang pasukan muslimin menyalakan api unggun di tengah malam yang sangat dingin itu, dan mencegah mereka mengikuti musuh mereka, serta shalat bersama pasukan dalam keadaan junub.
Setelah ‘Amr dan pasukannya tiba di Madinah, Rasulullah mengajaknya bicara dan menanyakan apa-apa yang disampaikan oleh ‘Auf z. ‘Amr bin ’Ash menjelaskan kepada Rasulullah : “Saya tidak memperbolehkan mereka menyalakan api karena bisa jadi musuh akan menyadari betapa sedikitnya jumlah kaum muslimin dan persembunyian kita dapat diketahui karena cahaya dari api unggun.
“Saya melarang pasukan muslimin mengejar musuh saat kemengan sudah hampir diraih karena khawatir musuh mempunyai bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit, sehingga kemudian berbalik menyerang pasukan muslimin.”
Dikisahkan, setelah mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah pun memuji Allah atas tindakan ‘Amr ini.
‘Amr bin ’Ash menjelaskan lagi “ Dimalam yang dingin itu saya junub dan sesungguhnya saya mendengar Allah berfirman:
‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian’.” (An-Nisa’: 29).
Kemudian saya membasuh kemaluan dan tayammum, setelah itu mengimami sholat. Hal itu saya lakukan karena kalau saya mandi, saya tentu mati dan hal itu akan menjatuhkan mental para prajurit karena panglima mereka mati sebelum berperang”Mendengar keterangan ‘Amr bin ’Ash, Rasulullah tertawa dan tidak mengomentarinya.
Dari kisah ini dapat diambil beberapa pelajaran, antara lain:
Semua pasukan tetap mentaati perintah ‘Amr bin’Ash dengan kepatuhan total dan pasukan muslimin percaya dengan sepenuh hati atas semua keputusan yang diambil oleh ‘Amr bin’Ash. Walaupun keputusan yang diambil ‘Amr bin’Ash terasa memberatkan tapi mereka tetap taat, bahkan Umar bin Khatab dan Abu Bakar pun tetap mentaati keputusan Amr padahal Amr baru beberapa bulan masuk Islam, Itulah bukti ketsiqohan prajurit terhadap qiyadahnya.
Betapa dalamnya pengetahuan Abu Bakar Ash-Shiddiq tentang Rasulullah, yang sudah tentu dalam hal-hal penting seperti ini, tidak mungkin bertindak sia-sia. Dan Umar juga membuktikan betapa dalam pemahaman keislamannya karena beliau tsiqoh dengan penjelasan dari Abu Bakar dan bersedia mentaati keputusan Amr.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits dengan sedikit edit