Rabu, 29 September 2010

Jadilah Pejuang Dakwah

Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar penikmat dakwah atau pendukung dakwah. Jadilah seorang muslim mujahid (muslim pejuang), bukan muslim qa’id (muslim yang duduk). Tidaklah sama seseorang yang berjihad di jalan Allah dengan orang-orang yang hanya duduk tidak berbuat sesuatu untuk agama Allah.

Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar penikmat dakwah yang hanya mengambil keuntungan dari dakwah atau hanya menikmati sendiri tarbiyah yang didapatkan. Kita perlu evaluasi diri, apakah yang sudah kita berikan untuk dakwah? Apakah selama ini kita sekedar numpang nikmat hidup di bawah naungan tarbiyah, numpang keren bersama ikhwan dan akhwat fillah, numpang beken dan populer di jalan dakwah atau numpang aman cari prestise dan posisi di dalamnya?

Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar menjadi pendukung dakwah. Tidak sekedar memberi dukungan atau sepakat dengan dakwah tetapi ikut memperjuangkannnya. Jadilah pejuang dakwah seperti halnya para sahabat yang ruhul istijabah, bersegera menyambut panggilan dakwah. Seperti halnya Miqdad bin ‘Amr ketika menjelang perang Badar beliau mengatakan: “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa, yaitu “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk disini”. Tetapi yang kami katakan kepadamu adalah: “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamu.” Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad(suatu tempat di Yaman), pasti kami tetap mengikutimu sampai disana.”

Jadilah pejuang dakwah yang selalu siap ditempatkan dimana saja, yang taat dan siap menerima amanah seperti halnya Hudzaifah yang taat ketika mendapatkan amanah untuk menyusup ke barisan musuh padahal kondisi saat itu (perang Ahzab) cuaca sangat dingin dan tentunya nyawa menjadi taruhannya jika sampai ketahuan.

Jadilah pejuang dakwah yang jiddiyah (bersungguh-sungguh) dan profesional dalam melaksanakan amanah, tidak menjadikannya beban tapi justru menjadikannya sebagai ladang amal. Dengan memiliki amanah, seseorang akan senantiasa berada bersama orang-orang shalih yang akan saling mengingatkan, berada dalam suasana ukhuwah yang indah meski banyak ujian yang dihadapi dan akan terpacu untuk selalu meningkatkan kualitas diri. Dengan memiliki amanah kita bisa lebih mampu memanaj aktifitas kita. Dan ketika kita dihadapkan dengan berbagai kepentingan, maka kita bisa bersikap tajarud, memurnikan pola pikir kita dari berbagai prinsip, nilai dan pengaruh individu. Tidak meninggalkan segala-galanya demi dakwah tetapi membawa semua yang kita punya bersama dakwah. Menjadikan cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya sebagai cinta tertinggi kita.

Mengutip tulisan di buku “Quantum Tarbiyah”, janganlah kita menjadi kader manja. Kader yang tidak siap memikul beban, padahal tantangan dakwah semakin berat. Apalagi kebatilan terus melakukan konsolidasi dengan cepat, rapat dan akurat. Jangan menjadi kader manja yang serba tidak siap, serba tidak bisa disuruh apa saja, pokoknya nggak bisa dan nggak mau, titik! Manja, karena ilmunya disayangi sendiri, tidak diwariskan pada anak isteri maupun mutarobbi. Manja, nggak segera membina untuk mewariskan ilmunya. Manja karena kalau diberi amanah tidak profesional. Bila disuruh membina malah “membinasakan”. Ketika binaan datang dia nggak datang, kalau dia datang binaan nggak nongol (kayak Tom and Jerry aja katanya he..he..).

Seorang da’i harusnya bisa menjadi teladan, rela berkorban dan banyak memberikan stok kebaikan kepada mad’unya. Untuk bisa menyentuh hati mad’unya, mengajaknya dalam kebaikan maka seorang da’i harus bersabar, telaten dalam ‘ngemong’ mad’unya, jangan sampai lebih sering absen daripada mad’unya, lama kelamaan bisa bubar dech.

Hidup ini pilihan, perjuangan dan pertanggungjawaban. Kita sendiri yang menentukan setiap pilihan. Kita sendiri juga yang menentukan prioritas kepentingan kita. Bukan kita yang diatur oleh waktu dan pekerjaan kita, tetapi kitalah yang mengatur waktu dan pekerjaan kita. Kita tidak akan punya waktu jika kita tidak berusaha menyempatkannya. Tidak ada alasan pula bagi seorang aktifis dakwah untuk tidak mau membina dengan alasan sibuk. Tidak ada alasan pula bagi seorang aktifis dakwah untuk menyepelekan tarbiyah dengan tidak hadir dalam halaqah karena alasan sibuk, entah sibuk dengan pekerjaan, keluarga ataupun dakwah. Memang tarbiyah bukan segala-galanya, tapi segala-galanya bisa bermula dari tarbiyah.
Wallahu a’lam bishowab

KETIKA ALLAH BERKATA "TIDAK"






Ya Allah ambillah kesombonganku dariku
Allah berkata, "Tidak. Bukan Aku yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya."


Ya Allah sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat
Allah berkata, "Tidak. Jiwanya telah sempurna, tubuhnya hanyalah sementara."


Ya Allah beri aku kesabaran
Allah berkata, "Tidak. Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan
, tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri."


Ya Allah beri aku kebahagiaan
Allah berkata, "Tidak. Kuberi keberkahan, kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri untuk menghargai keberkahan itu."


Ya Allah jauhkan aku dari kesusahan
Allah berkata, "Tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada Ku."


Ya Allah beri aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat
Allah berkata, "Tidak. Aku beri kau kehidupan supaya kau menikmati segala hal."


Ya Allah bantu aku MENCINTAI orang lain, sebesar cintaMu padaku
Allah berkata... "Akhirnya kau mengerti !"




JANGAN PATAHKAN SAYAPMU UKHTI


Ukhti, aku selalu mengagumi sayap-sayapmu yang tak pernah berhenti mengepak dan senantiasa terbang tinggi dan kian tinggi. Kecepatan dan gelombang ruhiyahmu pun sangat luar biasa. Dirimu, aktivis dakwah yang tak pernah kenal berhenti berjuang, dinamis, dan haroki, mewakili motomu tentang jangan pernah diam dan berhenti bergerak, karena diam dapat mematikan.

“Ustadz, apakah usia perjuangan dakwah akhwat begitu terbatas? Terbatas oleh usianya, pekerjaannya, dan terbatas oleh amanahnya dalam rumah tangga?” Tanyaku suatu hari pada seorang ustadz. “Kalau begitu aku iri pada teman-teman ikhwan seperjuanganku. Mereka dapat cuek untuk tidak memikirkan pernikahan. Toh setua apapun kelak mereka mau menikah, mereka dapat dengan mudah menikahi akhwat yang lebih muda. Jika akhwat, semakin tua… Adakah ikhwan yang berkenan padanya?” Aku masih dengan pertanyaan polosku. Ustadz hanya tersenyum… I know.. Itu berarti aku sendiri tahu jawabannya.Dungdung..

Fenomena ini mungkin mengenai semua lini dakwah. Saat sebagian akhwat berhenti dari aktivitas dakwahnya justru setelah ia menikah. Aku mencoba merenungi dalam-dalam. Pasti ada yang salah, (bisa jadi pemahamanku, pola pikirku) ya…, pasti ada yang dapat kujadikan pelajaran. Dalam benakku, pernikahan di jalan dakwah adalah pernikahan dua aktivis yang bertujuan memperkokoh tandzhim dakwah, menyatukan kekuatan, dan mencetak generasi baru jundullah. That’s the point, namun dalam kenyataannya seringkali kondisi ini tidak se-idealis yang ku bayangkan… Ada berbagai situasi dan kondisi yang realistis yang harus dicermati. Dan aku belajar banyak, dari pernikahan saudaraku, sahabat-sahabatku, patner-patner dakwahku.

Bidadari, menikah adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah bagi setiap muslim. Ya, of course, karena akhwat adalah tulang rusuk yang bengkok. Harus ada yang meluruskannya dengan penuh kesabaran kalau tak ingin patah. Pernikahan sepasang aktivis dakwah haruslah karena dakwah (terlepas dari berbagai fenomena yang ada saat ini; VMJ (virus merah jambu), take in, atau hubungan tanpa status). Dan saat menikah di jalan dakwah, maka proyek dakwah dalam keluarga adalah konsekuensi logis dari pernikahan para aktivis.

Namun bagi akhwat, ada banyak hal baru yang nembuatnya harus berada dalam dunia yang mungkin berbeda. Tak jarang menghentikan sementara gerak langkahnya (terlebih saat buah hati telah hadir dalam kehidupannya). Namun ini hanya sementara, sampai jundi kecilnya mulai bisa diajak berjihad. Right??? Maka menjadi amanah bagi keduanya untuk saling mengingatkan, agar mujahidah dakwah tak bagai burung patah sayap.

Aku yakin engkau tahu benar bidadari, bahwa sebagai akhwat aktivis dirimu memiliki banyak potensi. Kemampuan manajerial, strategi dakwah, membina, kaderisasi, dan banyak hal lainnya yang sebenarnya tidak terbatas. Apakah harus berakhir di gerbang pernikahan? Meski ada amanah lain yang juga tak kalah menantangnya, menjadi madrasah terbaik, bidadari terbaik di rumahnya. Namun potensi itu punya hak untuk terus berkembang, jangan dibiarkan padam atau meredup. Potensi itu harus terus dinamis dan haroki, untuk membuat satu karya terbaik bagi umat. Ada banyak kader akhwat, namun mengapa masih sulit untuk mencari mentor? Mengapa masih sulit untuk mencari pengisi ta’lim? Mengapa begitu sulit untuk mencari aktivis akhwat di lini dakwah ini? Nikmat tarbiyah punya satu konsekuensi logis bagi para jundinya, yaitu bergerak dan beramal, untuk satu cita IQQOMATUDIEN (menegakkan dienNya).

Entahlah, kadang tanya ini tak berujung jawaban. Satu hal yang pasti harus terus kita benahi adalah sebuah sistem yang terbaik untuk mengelola potensi para umahat. Dan tarbiyah sebenarnya telah menjadi wasilah yang tepat. Namun terlepas dari sistem ini, ada satu point yang lebih utama. Niat, ghirah, tadhiyah, hamasah dari para aktivis dakwah akhwat itu sendiri, untuk terus menjadi cahaya umat, tidak semata menjadi cahaya di rumahnya saja. Maka kepak sayap itu akan terus berkembang dengan dua kekuatan besar dalam sebuah rumah tangga yang tak ubah bagai sebuah markas jihad. Bagai sayap burung, ia kan terus terbang lebih tinggi. Tak kenal henti, karena ada tujuan bersama yang begitu indah… Jannah dan pertemuan dengan-Nya.

Bidadari, sungguh…, tidak ada yang membedakan usia perjuangan dakwah akhwat dan ikhwan. Mungkin bentuk dan kadarnya saja yang berbeda. Namun semangat dan gelora jihadnya tidak boleh berbeda. Karena kelak dihadapan Allah, hanya ketaqwaanlah yang membedakan. Bukan gender, suku, rupa seseorang. (Dan aku tidak mau mengalah, juga tidak mau berhenti berfastabiqul khoirot dengan teman-temanku...

Ukhti fillah, para aktivis dakwah, akhwat, dan umahat. Gerbang pernikahan adalah awal fase baru dalam kehidupan (pernikahan bukanlah hidup baru, hanya sebuah fase baru, karena kehidupan baru kita adalah saat kita bertemu Rabb kita. Saat nyawa meregang dari tubuh kita, saat kita akan berhadapan dengan hari yang sangat berat untuk hisab kita. Itulah hidup baru kita, kematian dunia untuk sebuah kehidupan abadi di akhirat kelak). Gerbang itu bukan untuk menutup semua potensi kita, tapi justru laboratorium pengembangan kapasitas dakwah kita. (Berat menulis seperti ini, karena Uz belum bisa membuktikannya alias konsulen teoritis saja).

Saat memasuki rumah dakwah baru, maka saat itulah genderang jihad dibunyikan untuk melihat sejauh mana dua kekuatan besar tersebut berkolaborasi membangun sebuah kekuatan yang dasyat untuk menjadi kemanfaatan yang besar bagi masyarakatnya, negaranya, dan terutama bagi diennya. Dan PR ini bukan main-main, agenda ini harus senantiasa di evaluasi bersama. Karena kita semua adalah du’at, nahnu du’at qobla kuli syai (kita adalah da’i sebelum yang lainnya ).


Maka ukhti fillah, akhwat, dan umahat bantulah para akhwat aktivis untuk tidak fobi terhadap pernikahan. Dengan segala keterbatasan, teruslah kepakan sayap jihadmu. Minimal lewat perhatian dan doamu. Karena Nusaibah, Khadijah, Khansa, tidak lahir begitu saja. Generasi shahabiyah bukan impian semu yang tak mungkin hadir di akhir zaman ini. Kita adalah wanita akhir zaman, kita tidak bisa berhenti melangkah dan bergerak karena cita-cita besar kita belumlah futuh hingga dakwah mencapai kemenangannya. Kehidupan kita bukanlah sebatas suami, anak dan segala kesulitan rumah tangga kita. Tapi lebih besar lagi… Ini adalah tantangan bagi saya, meski saya tak pernah mampu meraba masa depan.

Tapi semoga Allah mengistiqomahkan kita, akhwat, dimanapun nanti ukhti berada, mendampingi mujahid manapun…. Jannah itu adalah milik kita juga, maka bertempurlah tuk jadi yang terbaik dari setiap peran yang harus kita jalani. Ini pertempuran kita…. Tuk buktikan pada dunia kita mampu setegar para mujahidah Afgan yang saling menyemangati antar para umahat untuk mendorong para suaminya berjihad dan menutup pintu rumah kala suaminya bermalas-malasan dari dakwah.

Ini pertempuran kita, tuk buktikan pada Allah bahwa Dia tak pernah salah memilih kita menjadi mujahidah dakwahnya… Yang menjadikan suami dan anak bukan fitnah baginya. Namun menjadi kekuatan luar biasa, sekuat para mujahidah dan para umahat Palestina yang tak pernah berhenti melahirkan dan mendampingi mujahid dakwah meski mereka harus kehilangan semua orang yang dicintanya…. Demi izzah Islam.

Ini pertempuran kita… Tuk kalahkah stigma bahwa akhwat bagai burung patah sayap saat ia menikah. Bertempurlah ya ukhti, terutama dengan diri kita sendiri. Karena seringkali ialah musuh terbesar kita.

“Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka merekalah orang-orang yang rugi…” (Q.S Al Munafiqun : 9).

Karena kau ukhti mujahidah…. Karena kau pendamping mujahid dakwah… Maka sambutlah seruan ini… Semoga kelak kau kan menjadi bidadari surga mulia di jannah-Nya. Wallahualam bishawab.