Minggu, 11 Juli 2010

Ikhwan GANTENG partner sejati akhwat

Alangkah indahnya Islam. Kedudukan manusia dinilai dari ketaqwaannya, bukan dari gendernya. Ini adalah strata terbuka sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk memasuki strata taqwa.

Ikhwan dan akhwat adalah dua makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbeda. Ikhwan, sebagaimana ia, memang diciptakan lebih dominan rasionalitasnya karena ia adalah pemimpin bagi kaum hawa. Akhwat, sebagaimana ia, memang diciptakan lebih dominan sensitivitas perasaannya karena ia akan menjadi ibu dari anak-anaknya.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 9: 71)

Di lapangan, ikhwan dan akhwat memang harus menjaga hijab satu sama lain, namun tentu bukan berarti harus memutuskan hubungan, karena dalam da’wah, ikhwan dan akhwat adalah seperti satu bangunan yang kokoh, yang sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.

Belakangan ini menjadi sebuah fenomena baru di berbagai wajihah dakwah kampus tentang sedikit ‘konfrontasi’ ikhwan dengan akhwat. Tepatnya, tentang kurang cepat tanggapnya da’wah para ikhwan yang notabene adalah partner da’wah dari akhwat.

Patut menjadi catatan, mengapa kader akhwat selalu lebih banyak dari kader ikhwan. Walau belum ada penelitian, tetapi bila melihat data kader, pun data massa dimana jumlah akhwat selalu dua sampai tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan ikhwan, maka dapat diindikasikan bahwa ghirah, militansi dan keagresifan berda’wah akhwat, lebih unggul. Dan meski memang hidayah itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tentu kita tak dapat mengabaikan proses ikhtiar.

Akhwat Militan, Perkasa dan Mandiri?
Sejak kapankah adanya istilah Akhwat militan, perkasa dan mandiri ini? Berdasarkan dialog-dialog yang penulis telaah di lapangan, dan di beberapa lembaga dakwah, ternyata hampir semua akhwat memiliki permasalahan yang sama, yaitu tentang kurang cepat tanggapnya ikhwan dalam menghadapi tribulasi da’wah. Bahkan ada sebuah rohis yang memang secara turun temurun, kader-kader akhwatnya terbiasa mandiri dan militan. Mengapa? Karena sebagian besar ikhwan dianggap kurang bisa diandalkan. Dan ada pula sebuah masjid kampus di Indonesia yang hampir semua agenda da’wahnya digerakkan oleh para akhwat. Entah hilang kemanakah para ikhwan.


Ikhwan GANTENG

Lantas bagaimanakah seharusnya ikhwan selaku partner da’wah akhwat? Setidaknya ada tujuh point yang patut kita jadikan catatan dan tanamkan dalam kaderisasi pembinaan ADK, yaitu GANTENG (Gesit, Atensi, No reason, Tanggap, Empati, Nahkoda, Gentle). Beberapa kisah tentang ikhwan yang tidak GANTENG, akan dipaparkan di bawah ini.

1. (G) Gesit dalam da’wah
Da’wah selalu berubah dan membutuhkan kegesitan atau gerak cepat dari para aktivisnya. Sebuah kisah dalam suatu acara, seorang ikhwan yang notabene Ketua Departemen tidak dapat hadir dalam acara yang sudah direncanakan tersebut. Maka dengan gesit Ia melimpahkan kuasa kepada ikhwan lain untuk menggantikannya dan memberitahu kepada para akwat agar berkoordinasi dengan ikhwan yang Ia tunjuk sebagai penggantinya. Ini adalah contoh ikhwan gesit, lain lagi kisah berikut ini. Dua orang akhwat menyampaikan pesan kepada si fulan agar segera memulai rapat koordinasi karena jam sudah menunjukkan lewat dari jadwal rapat yang sudah disepakati. Tunggu punya tunggu, si fulan tak kunjung memberitahu kepada para akhwat kapan rapat akan dimulai.

2. (A) Atensi pada jundi
Perhatian di sini adalah perhatian ukhuwah secara umum. Contoh kisah bahwa ikhwan kurang dalam atensi adalah ketika ada rombongan ikhwan dan akhwat sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat. Para akhwat menuju lokasi dengan naik angkot, ikhwannya semua naik motor. Diperjalanan ternyata ada perbaikan jalan yang menyebabkan kemacetan cukup panjang, alhasil angkot yang ditumpangi para akhwat hampir tak bergerak. Mereka memutuskan berjalan kaki karena menurut supir angkot, lokasi yang dituju tak jauh lagi. Setelah berjalan cukup jauh tapi belum juga sampai kelokasi tujuan, salah seorang akhwat menghubungi ikhwan yang sudah lebih dulu sampai untuk meminta bantuan, tapi ikhwan tersebut hanya bilang “ jalan aja mba, nanti juga sampai”. Setelah berjalan kurang lebih 2Km para akhwat akhirnya sampai ketujuan dengan kelelahan. Sabar ya mba..

3. (N) No reason, demi menolong
Kerap kali, para akhwat meminta bantuan ikhwan karena ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh akhwat. Tidak banyak beralasan dalam menolong adalah poin ketiga yang harus dimiliki oleh aktivis. Contoh kisah kurangnya sifat penolong sama seperti contoh poin 2 yaitu saat para akhwat sudah berjalan kaki cukup jauh dan banyak yang sudah kelelahan tapi belum juga sampai juga ketujuan, salah seorang akhwat yang lain menghubungi ikhwan yang sudah lebih dulu sampai untuk meminta bantuan yaitu menjemput para akhwat dengan 2 motor, 1 motor dipakai para akhwat, satunya lagi untuk para ikhwan yang menjemput. Tapi ikhwan tersebut hanya bilang “ afuan mba, parkirannya jauh”.

4. (T) Tanggap dengan masalah
Permasalahan da’wah di lapangan semakin kompleks, sehingga membutuhkan aktivis yang tanggap dan bisa membaca situasi. Sebuah kisah, adanya muslimah yang akan murtad akibat kristenisasi di sebuah kampus. Aktivis akhwat yang mengetahui hal ini, menceritakannya pada seorang ikhwan yang ternyata adalah qiyadahnya. Sang ikhwan ini dengan tanggap segera merespon dan menghubungi ikhwan yang lainnya untuk melakukan tindakan pencegahan pemurtadan.
Kisah di atas, tentu contoh ikhwan yang tanggap. Lain halnya dengan kisah ini. Di sebuah perjalanan, para akhwat memiliki hajat untuk mengunjungi sebuah lokasi. Mereka kemudian menyampaikannya kepada ikhwan yang notabene adalah sang qiyadah. Sambil mengangguk-angguk, sang ikhwan menjawab, “Mmmm….”
“Lho… terus gimana? Kok cuma ‘mmmmm’ ” tanya para akhwat bingung. Sama sekali tidak ada reaksi dari sang ikhwan. “Aduh… gimana sih…” Para akhwat menjadi senewen.

5. (E) Empati
Merasakan apa yang dirasakan oleh jundi. Kegelisahan para akhwat ini seringkali tercermin dari wajah, dan lebih jelas lagi adalah dari kata-kata. Maka sebaiknya para ikhwan mampu menangkap kegelisahan jundi-jundinya dan segera memberikan solusi. Sebuah kisah tentang kurang empatinya ikhwan adalah dalam sebuah perjalanan luar kota dengan menaiki bis. Saat telah tiba di tempat, ikhwan-akhwat yang berjumlah lima belas orang ini segera turun dari bis. Dan bis itu segera melaju kembali. Para akhwat sesaat saling berpandangan karena baru menyadari bahwa mereka kekurangan satu personel akhwat, alias tertinggal di bis. Sontak saja para akhwat ini dengan panik, berlari dan mengejar bis. Tetapi tidak demikian halnya dengan ikhwan, mereka hanya berdiri di tempat dan dengan tenang berkata, “Nanti juga balik lagi akhwatnya.”

6. (N) Nahkoda yang handal
Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Ia adalah nahkoda kapal. Lantas bagaimanakah bila sang nahkoda tak bergerak? Alkisah, tentang baru terbentuknya kepengurusan. Tunggu punya tunggu…, hari berganti hari, minggu berganti minggu, ternyata ikhwan yang notanebe adalah KetAn (ketua Angkatan), tak kunjung menghubungi akhwat. Akhirnya, karena sudah “gatal” ingin segera gerak cepat beraksi dalam da’wah, para akhwat berinisiatif untuk “menggedor” ikhwan, menghubungi dan menanyakan kapan akan diadakan rapat koordinasi agenda terdekat.

7. (G) Gentle
Bersikap jantan atau gentle, sudah seharusnya dimiliki oleh kaum Adam, apatah lagi aktivis. Tentu sebagai Jundullah (Tentara Allah) keberaniannya adalah di atas rata-rata manusia pada umumnya. Namun tidak tercermin demikian pada kisah ini. Sebuah kisah perjalanan rihlah yang juga diisi dengan kajian keislaman dan diskusi. Setelah semua agenda acara terlaksana dan ditutup dengan doa, para akhwat bersiap pulang. Tapi tunggu dulu, salah seorang ikhwan memanggil dan meminta para akhwat untuk membawa perlengkapan yang tadi digunakan pada saat acara berlangsung. Para akhwat terbengong-bengong, “masa kita sih yang disuruh bawa, kan kita repot mesti naek turun angkot”, celetuk salah seorang akhwat. Beruntung ada seorang akhwat yang dengan tegas mengatakan “Kami tidak bisa membawa semua perlengkapan itu, mohon pengertiannya!”. Hi5 Like this ukhti!!!


Penutup
Fenomena ketidak-GANTENG-an ikhwan ini, akan dapat berpengaruh pada kinerja da’wah ikhwan-akhwat. Ikhwan dan akhwat adalah partner da’wah yang senantiasa harus saling berkoordinasi. Ar rijal Qawwamuna ‘alannisa. Masing-masing ikhwan dan akhwat memang mempunyai kesibukannya sendiri, namun ikhwan dilebihkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sebagai pemimpin. Sehingga wajar saja bila yang dipimpin terkadang mengandalkan dan mengharapkan sang qawwam ini bisa jauh lebih gesit dalam berda’wah (G), perhatian kepada jundinya (A), tidak banyak alasan dalam menolong (N), tanggap dalam masalah (T), empati pada jundi (E), menjadi nahkoda yang handal (N) dan mampu memberikan perlindungan (G). Kita harapkan, semoga semakin banyak lagi ikhwan-ikhwan GANTENG yang menjadi qiyadah sekaligus partner akhwat.
Ada yang tersinggung? Alhamdulillah kalo gitu,
berarti kita masih punya perasaan.He5

Teringat sebuah tausiyah dari seorang ukhti:
Seorang perempuan tidak diciptakan dari kepala laki-laki,
karena ia tidak diciptakan untuk mengepalai laki-laki
Seorang perempuan tidak diciptakan dari kaki laki-laki,
karena ia tidak diciptakan untuk diinjak-injak oleh laki-laki
Seorang perempuan diciptakan dari bagian samping seorang laki-laki,
agar mereka dijaga, diciptakan dari dekat lengannya untuk dilindungi,
diciptakan dari dekat hatinya untuk dikasihi.

Wallahu’alam

sumber : copas+edit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar